Statistik

Garis Regresi
Persamaan garis regresi yang mempunyai persamaan dua inependen variabel
Yc = bo + b1X1 + b2X2
Dengan metode kuadrat terkecil dapat diperoleh persamaan-persamaan normal ;
Y-nbo-b1X1-b2X2 = 0 ……………….……I
X1Y-boX1-b1X²-b2X1X2 = 0……….…….II
X2Y-boX2-b1X1X2-b2X²2 = 0…….……..III

Dari nilai tabel kemudian dimasukkan dalam persamaan, sehingga diperoleh persamaan :

Y-nbo-b1X1-b2X2 = 0 ……………….……I
X1Y-boX1-b1X²-b2X1X2 = 0……….…….II
X2Y-boX2-b1X1X2-b2X²2 = 0…….……..III

1695-20bo-1560 b1-1410 b2 = 0
1608-20bo-1482 b1-1340 b2 =0
IV -87 + 78 b1 + 70 b2 = 0

1695-20bo-1560 b1-1410 b2 = 0
III. 1711-20bo-1577 b1-1429 b2 = 0
V. -16 + 17 b1 + 19 b2 = 0
Dari persamaan IV dan V dapat diperoleh harga b2 dengan menghilangkan harga b1, yaitu :
IV. -87 + 78 b1 + 70 b2 = 0
V. -16 + 17 b1 + 19 b2 = 0

-87 + 78 b1 + 70 b2 = 0
-73,6+78 b1+87,4 b2 = 0
-13,4 -17,4 b2 = 0
-13,4 = 17,4 b2
b2 = 13,4
17,4
b2= 0,77
Setelah harga b2 diketahui kemudian di masukkan ke persamaan IV:
IV. -87 + 78 b1 + 70 b2 = 0
-87 + 78 b1 + 70 (0,77) = 0
-33,1 + 78 b1 = 0
78 b1 = 33,1
b1 = 33,1
78
b1 = 0,424

1695-20bo-1560 b1-1410 b2 = 0
1695-20bo-1560(0,424)-1410(0,77) = 0
1695-20bo-661,44-1085,7 = 0
20 bo = 52,14
bo = 2,607
bo = 2,6
Yc = 2,6 + 0,424X1 + 0,77X2













Standar Error of Estimate (SY X1 X2)
SY X1 X2 = √((∑▒(Y-Yc)^2 )/(n-m))
= √((26,6256)/18)
= √(1,4492)
= 1,216
=1, 22

Koefisien Korelasi
Untuk mencari koefisien korelasi dihitung terlebih dahulu varians dari harga Y.
VY2 = (n∑▒Y^2 - (∑▒〖Y)〗^2 )/(n(n-1))
= (20.145025-〖1695〗^2)/20.19
= (2900500-2873025)/380 = 27475/380 = 72,3

r = 1-(SYX_1 X_2)/〖vY〗^2
= 1- 1,22/72,3
= 1 – 0,0168
= 0,9832
= 0,98

Jika kita lihat pada tabel r product-moment dengan n = 20, maka
5 % = 0,4444
1% = 0,561

Hasil ini berarti bahwa koefisien korelasi sebesar 0,98 lebih besar dari taraf signifikansi 5% maupun 1% yang berarti pula telah terbukti addanya korelasi antara variabel belajar terbimbing dan belajar tidak terbimbing dengan hasil belajar (dependent variabel)

Selanjutnya untuk membuktikan hipotesis yang berbunyi; Faktor belajar terbimbing lebih berpengaruh dari kepuasaan tidak terbimbing untuk meningkatkan hasil belajar pada siswa kelas X SMA negeri 1 Bulukumba, dapat dilihat dari persamaan garis regresi, yaitu :

Yc = 2,6 + 0,77X1 + 0,424X2
Di mana Yc = nilai ramalan hasil belajar
2,6 = bilangan konstan
0,424 X1 = nilai dari belajar terbimbing
0,77 X2 = nilai dari belajar tidak terbimbing
UJI LSD (Least Significant Difference)

Untuk tα.= 5%
LSD = tα.db.KTE.√((2.KTE)/n)
LSD = 0,5x 21x 45 x√(2.40/28)
LSD = 0,5 x 21 x 45 x 1,69
LSD = 798,525

Untuk tα.= 1%
LSD = tα.db.KTE.√((2.KTE)/n)
LSD = 0,99 x 6 x 45 x√(2.45/28)
LSD = 0.99 x 6 x 45 x.1,79
LSD = 478,467

“Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Think Pair and Share Dipadukan dengan Kartu Indeks dan Soal-Soal Terstruktur Berbasis ICT Terhadap

A. Judul Penelitian
“Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Think Pair and Share Dipadukan dengan Kartu Indeks dan Soal-Soal Terstruktur Berbasis ICT Terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Bulukumba”.

B. Latar Belakang
Pendidikan dalam lingkungan sekolah dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yaitu : mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Akan tetapi saat ini tujuan pendidikan kita belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Hal ini dapat kita lihat dari rata-rata nilai siswa SMA di seluruh Indonesia pada mata pelajaran fisika, kimia, dan biologi. Hasil penelitian Boediono (dalam Kurniawan, 2003), menunjukkan bahwa dari 100 soal yang diajukan rata-rata nilai yang dicapai siswa pada mata pelajaran fisika adalalah 11,3, pada mata pelajaran kimia 13,3, dan pada mata pelajaran biologi adalah 16,8. Kondisi ini menunjukkan bahwa daya serap siswa pada mata pelajaran IPA, masih tergolong rendah dan menunjukkan hasil yang cukup memprihatinkan.
Rendahnya daya serap pada mata pelajaran IPA disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya guru, model, pendekatan, strategi, metode, media, sarana dan prasarana. Guru sebagai pendidik di sekolah merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan di setiap satuan pendidikan. Seorang guru haruslah menguasai model, strategi, pendekatan, metode, teknik dan materi yang akan diajarkan. Untuk dapat mengajar, guru sebaiknya menggunakan model pembelajaran dan teknik-teknik pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas belajar siswa.
Guru perlu menerapkan suatu model pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dan mampu merangsang siswa untuk berpikir kritis dan analisis, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, serta penguasaan konsep siswa. Salah satu model pembelajaran yang memenuhi kriteria tersebut adalah model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share.
Model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share merupakan salah satu model pembelajaran yang memberikan kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Model pembelajaran ini memberi banyak waktu kepada siswa untuk memikirkan materi yang sedang dipelajari dan bertukar pikiran dengan siswa lain sebelum ide mereka dikemukakan di depan kelas. Menurut Lie (2005), model pembelajaran ini memberi kesempatan sedikitnya delapan kali lebih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain daripada model klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa yang maju dan membagikan hasil diskusi di depan kelas. Interaksi antar siswa di sekitar tugas-tugas yang diberikan lebih besar karena berpasangan sebanyak dua orang, penguasaan siswa terhadap konsep-konsep yang sulit lebih tinggi dan lebih memotivasi siswa dalam belajar sehingga hasil belajar dapat meningkat. Selain memiliki kelebihan, model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share ini juga memiliki kelemahan, diantaranya yaitu lebih sedikit ide yang muncul dan sulit diterapkan di sekolah yang rata-rata kemampuan siswanya rendah (Lie, 2005).
Teknik-teknik pembelajaran saat ini sangat berkembang pesat seiring dengan penerapan teknologi dalam bidang pendidikan. Teknik pembelajaran meliputi media pembelajaran yang digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas. Sehingga, materi pembelajaran akan lebih mudah dipahami oleh siswa, jika guru menggunakan alat bantu belajar-mengajar yang dikenal dengan istilah media pembelajaran. Media ini dapat berupa benda sesungguhnya, imitasi, atau tiruan yang dapat berupa gambar, grafik, tabulasi yang dituangkan dalam media baik visual, audio, maupun elektronik. Penggunaan media harus sesuai dengan tujuan, materi, dan metode pembelajaran. Pada awalnya media merupakan alat bantu pembelajaran berupa visual, dengan harapan dapat memberikan pengalaman konkret, meningkatkan motivasi belajar dan mempertinggi daya serap siswa. Akhir-akhir ini kemajuan ICT (Information Comunication and Technology) memberikan peluang penggunaan komputer dalam proses pembelajaran. Sehingga guru akan lebih mudah membuat media-media pembelajaran.
Menurut Sudjana (2005), alasan pemanfaatan media pengajaran dalam proses belajar siswa yaitu: Alasan pertama (a) Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar. (b) Bahan pengajaran akan lebih jelas makannya sehingga dapat lebih dipahami oleh para siswa, dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran lebih baik. (c) Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga. (d) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga melakukan aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemostrasikan dan lain-lain. Alasan kedua, yaitu penggunaan media pengajaran dapat mempertinggi proses dan hasil pengajaran yang berkenaan dengan taraf berpikir siswa. Taraf berpikir manusia mengikuti tahap perkembangan dimulai dari berpikir kongkrit menuju ke berpikir abstrak, dimulai dari berpikir sederhana menuju ke berpikir kompleks. Penggunaan media pengajaran erat kaitannya dengan tahapan berpikir tersebut sebab melalui media pengajaran hal-hal yang abstrak dapat dikongkritkan, dan hal-hal yang kompleks dapat disederhanakan.
Penggunaan media pengajajaran dalam pelaksanan pembelajaran biologi diasumsikan dapat meningkatkan motivasi dan perhatian siswa terhadap materi yang diajarkan. Tujuan pembelajaran yang dibuat dapat tercapai. Dari berbagai media pengajaran yang digunakan dalam pembelajaran biologi, salah satunya adalah alat peraga visual (pandang). Alat peraga visual yang dimaksud adalah media berbasis ICT dengan pemanfaatan teknologi komputer dengan menggunakan program Macromedia Flash dan pemanfaatan kartu indeks yang merupakan salah satu media pengajaran yang berbentuk potongan-potongan kertas atau kartu yang berisi pertanyaan bergambar atau tertulis yang dijawab dengan menempelkan potongan-potongan kertas jawaban pada kolom soal atau dengan cara menempelkan kartu tersebut pada gabus. Oleh karena itu dari dua media pembelajaran yang dipergunakan dalam pembelajaran biologi ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Dengan menggunakan media berbasis ICT dalam usaha peningkatkan prestasi belajar biologi siswa memerlukan sarana dan prasarana yang memadai, SMA 1 Bulukumba memiliki sarana dan prasarana komputer yang memadai tapi selama ini belum digunakan secara optimal dalam pembelajaran. Disamping itu, sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah yang saat ini dijadikan sekolah penerapan kurikulum berbasis komputer dan juga salah satu sekolah RSBI. Maka dari itu penulis melakukan penelitian di SMA Negeri 1 Bulukumba, karena faktor-faktor diatas dapat ditemui di sekolah tersebut.
Peneliti melakukan penelitian untuk mengkaji pengaruh penggunaan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT terhadap hasil belajar biologi siswa kelas X SMA Negeri 1 Bulukumba.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang hendak diteliti adalah:
1. Bagaimana hasil belajar biologi siswa kelas X SMA Negeri 1 Bulukumba yang menggunakan model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share dipadukan dengan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT sebagai media pembelajaran?
2. Bagaimana hasil belajar biologi siswa kelas X SMA Negeri 1 Bulukumba yang tanpa menggunakan model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share dipadukan dengan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT sebagai media pembelajaran?
3. Apakah ada pengaruh penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Think Pair and Share dipadukan dengan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT terhadap hasil belajar biologi siswa kelas X SMA Negeri 1Bulukumba?

D. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui hasil belajar biologi siswa kelas X SMA Negeri 1 Bulukumba yang menggunakan model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share dipadukan dengan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT sebagai media pembelajaran.
2. Untuk mengetahui hasil belajar biologi siswa kelas X SMA Negeri 1 Bulukumba yang tanpa menggunakan model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share dipadukan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT sebagai media pembelajaran.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share dipadukan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT terhadap hasil belajar biologi siswa kelas X SMA Negeri 1 Bulukumba.

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Terhadap siswa, meingkatkan prestasi belajar yang diperoleh bagi siswa yang daya tangkapnya kurang terhadap pelajaran biologi, serta meningkatkan life skill pada siswa yang lain.
2. Terhadap guru, meningkatkan wawasan dan pengetahuan guru tentang pembelajaran biologi melalui penggunaan kartu indeks dalam pembelajaran biologi.
3. Terhadap satuan pendidikan SMA, memberikan sumbangan yang baik dalam rangka perbaikan pembelajaran guna meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada SMA Negeri 1 Bulukumba dan sekolah lain pada umumnya.
4. Terhadap prodi pendidikan biologi, memberikan masukan dalam strategi belajar mengajar biologi dan khususnya dalam pengajaran mata kuliah pendidikan.

F. Batasan Istilah
1. Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair and Share adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri atas tahapan berpikir (think), berpasangan (pair), dan berbagi (share).
2. Kartu indeks adalah salah satu media pembelajaran yang berbentuk potongan-potongan kertas atau kartu yang berisi pertanyaan bergambar atau tertulis meliputi benar salah, tanya jawab, peta konsep, dan bongkar pasang yang dijawab dengan menempelkan potongan-potongan kertas jawaban pada kolom jawaban yang telah disediakan
3. Soal-soal terstruktur adalah salah satu jenis tes dengan pertanyaan terstruktur yang digunakan di kegiatan inti untuk mengetahui sejauh mana siswa dapat memahami tujuan pembelajaran.
4. Hasil belajar adalah nilai yang menggambarkan tingkat pemahaman siswa kelas X, setelah mengikuti tes hasil belajar baik pada kelompok kontrol maupun pada kelompok eksperimen.

G. Tinjauan Pustaka
1. Paradigma Pembelajaran Masa Kini
Pada dasarnya paradigma pendidikan pendidikan nasional yang baru harus dapat mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global. Paradigma tersebut haruslah mengarah kepada lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis. Paradigma baru pendidikan nasional haruslah dituangkan dan dijabarkan dalam berbagai program pengembangan pendidikan nasional secara bertahap dan berkelanjutan (Tilaar, 2004). Oleh sebab itu, penyelengagaraan pendidikan yang sentralistik baik di dalam manajemen maupun di dalam penyusunan kurikulum harus diubah dan disesuaikan kepada tuntutan pendidikan saat ini. Demikian pula di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, maka proses pendidikan haruslah mampu mengembangkan kemampuan untuk berkompetisi di dalam kerja sama, mengembangkan sikap inovatif dan ingin selalu meningkatkan kualitas. Paradigma baru pendidkan nasional haruslah dituangkan dan dijabarkan di dalam berbagai pengembangan pendidikan nasional secara bertahap dan berkelanjutan (Tilaar, 2001).
a. Belajar
Belajar merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan siswa misalnya membaca, mengamati, mendengarkan, dan meniru. Dalam arti luas, belajar dapat diartikan sebagai kegiatan psiko-fisik menuju perkembangan pribadi seutuhnya. Belajar dalam arti sempit diartikan sebagai usaha menguasai ilmu pengetahuan (Sardiman, 2001).
Menurut Sanjaya (2006), bahwa belajar adalah proses berpikir. Belajar berpikir menekankan kepada proses mencari dan menemukan pengetahuan melalui interaksi antara individu dengan lingkungan. Dalam pembelajaran berpikir proses pendidikan di sekolah tidak hanya menekankan kepada akumulasi pengetahuan meteri pelajaran, tetapi yang diutamakan adalah kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuannya sendiri.
Menurut Sanjaya (2006), belajar adalah proses yang terus-menerus, yang tidak pernah berhenti dan tidak terbatas pada dinding kelas. Prinsip belajar ini sejalan dengan empat pilar pendidikan universal yang dirumuskan UNESCO (1996), yaitu (i) learning know atau learning to learn bahwa belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada hasil belajar, tetapi juga berorientasi kepada proses belajar,
(ii) learning to do bahwa belajar itu bukan hanya sekedar mendengar den melihat dengan tujuan akumulasi pengetahuan, tetapi belajar untuk berbuat dengan tujuan akhir penguasaan kompetensi. Learning to do juga berarti proses pembelajaran yang berorientasi kepada pengalaman manakala anak diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu, (iii) learning to be bahwa belajar adalah membentuk manusia yang “menjadi dirinya sendiri”, dan (iv) learning to live together adalah belajar untuk bekerja sama.
Menurut Abdullah (1990), mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses dimana terdapat perubahan sebagai hasil dari berbagai perubahan pada berbagai aspek pengetahuan, aspek pemahaman, aspek sikap, kecakapan, kemampuan, serta aspek-aspek lainnya yang ada pada individu yang belajar. Belajar pada hakekatnya berhubungan dengan perubahan tingkah laku pada seseorang yang kemudian perubahan tersebut menjadi miliknya. Perubahan yang dialami tersebut, menyebabkan seseorang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Hamalik (2001), bahwa belajar adalah suatu bentuk perubahan atau perubahan dalam diri seseorang dinyatakan dengan cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan.
Beberapa definisi dari belajar maka disimpulkan sebagai suatu usaha atau aktivitas untuk melakukan perubahan berbagai aspek pada individu yang belajar, melalui kegiatan-kegiatan yang melibatkan berbagai proses, pemahaman, konsep, latihan, menemukan dan bekerja sama.


b. Mengajar
Menurut Purwadarminta (1990) berpendapat bahwa mengajar adalah mengerti, memberi instruksi kepada murid. Pandangan lain tentang mengajar dapat dilihat dari sudut siswa yang belajar. Mengajar adalah membimbing kegiatan siswa belajar (Sudjana,1989). Dengan demikian mengajar adalah mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga dapat mendorong dan menumbuhkan minat siswa untuk melakukan kegiatan belajar.
Menurut Sanjaya (2006), asumsi yang mendasari pembelajaran berpikir adalah bahwa pengetahuan itu tidak datang dari luar, akan tetapi dibentuk oleh individu itu sendiri dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Atas dasar asumsi itulah pembelajaran berpikir memandang bahwa mengajar itu bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru pada siswa, melainkan suatui aktivitas yang memungkinkan siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya. Atau mengajar adalah berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
La costa (dalam Sanjaya, 2006), mengklasifikasikan mengajar berpikir menjadi tiga, yaitu (i) teaching of thinking adalah proses pembelajaran yang diarahkan untuk pembentukan keterampilan mental tertentu, misalnya keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif dan lain sebagainya, (ii) teaching for thinking adalah proses pembelajaran yang diarahkan pada usaha menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendorong terhadap pengembangan kognitif. Jenis pembelajaran ini lebih menitikberatkan kepada proses menciptakan situasi dan lingkungan tertentu, contohnya menciptakan suasana keterbukaan yang demokratis, menciptakan iklan yang menyenangkan sehingga memungkinkan siswa dapat berkembang secara optimal, (iii) teaching about thinking adalah pembelajaran yang diarahkan pada upaya untuk membantu agar siswa lebih sadar terhadap proses berpikirnya. Jenis pembelajaran ini lebih menekankan kepada metodologi yang digunakan dalam proses pembelajaran.
Mengajar pada dasarnya merupakan suatu usaha menciptakan kondisi atau sistem lingkungan yang mendukung dan memungkinkan untuk berlangsunganya proses mengajar. Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan pada anak didik. Mengajar juga diartikan sebagai suatu aktivitas mengorganisir atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak (Sardiman, 2001).
Menurut Losanov, (1978 dalam De Porter, 2002), bahwa belajar mengajar adalah proses yang kompleks. Setiap kata, pikiran, tindakan , dan asosiasi digunakan untuk mencapai hasil belajar. Sejauh ,mana guru mengubah lingkungan , presentasi, dan rancangan pengajaran,sejauh itu pula proses belajar mengajar berlangsung.
Berdasarkan rumusan tentang pengertian mengajar seperti yang dikemukakan di atas, juga melihat hakekat mengajar sebagai proses, maka dirumuskan bahwa mengajar adalah proses yang dilakukan oleh guru dalam memotivasi kegiatan belajar siswa. Dimana hal ini tidak lepas dari peran guru sebagai pengajar. Bagaimanapun hebatnya kemajuan teknologi, peran guru akan tetap diperlukan. Sanjaya (2006), beberapa peran guru dalam proses pembelajaran, yaitu (i) sebagai sumber belajar, (ii) sebagai fasilitator yaitu memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran, (iii) sebagai pengelola pembelajaran yaitu dapat menciptakan iklam belajar yang memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman, (iv) sebagai demonstrator yaitu berperan untuk mempertunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan, (v) sebagai pembimbing, (vi) sebagai motivator, dan (vii) sebagai evaluator.

2. Model pembelajaran kooperatif
a. Pengertian pembelajaran kooperatif
Cooperative mengandung pengertian bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama. Pada dasarnya cooperative learning mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih di mana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan setiap anggota kelompok itu sendiri. Cooperative learning juga dapat diartikan sebagai suatu struktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok (Solihatin dan Raharjo, 2007).
Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan salah satu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pendekatan konstruktivistik. Model pembelajaran ini mengacu pada metode pembelajaran dimana peserta didik bekerja sama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar (Nurhayati dan Wellang, 2004). Johnson & Johnson dalam Isjoni (2007) yang dikutip oleh Hartina (2008) secara sederhana menyebutkan Cooperative Learning atau belajar secara kooperatif adalah penempatan atau pengelompokan beberapa siswa dalam kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut.
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda (heterogen). Sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok. Setiap kelompok akan memperoleh penghargaan (reward), jika kelompok mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Oleh karena itu, setiap anggota kelompok akan mempunyai ketergantungan positif. Ketergantungan semacam itulah yang selanjutnya akan memunculkan tanggung jawab individu terhadap kelompok dan keterampilan interpersonal dari setiap anggota kelompok. Setiap individu akan saling membantu, mereka akan mempunyai motivasi untuk keberhasilan kelompok, sehingga setiap individu akan memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi demi keberhasilan kelompok (Sanjaya, 2007).
Pada pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan (Slavin, dalam Yusuf, 2007).
b. Prinsip-prinsip pembelajaran kooperatif
Menurut Sanjaya (2007), terdapat empat prinsip dasar pembelajaran kooperatif, yaitu sebagai berikut.

1) Prinsip ketergantungan positif (Positive Interdepensence)
Selama pembentukan kelompok kerja yang efektif, setiap anggota kelompok masing-masing perlu membagi tugas sesuai dengan tujuan kelompoknya. Tugas tersebut tentu saja disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota kelompok. Inilah hakikat ketergantungan positif, artinya tugas kelompok tidak mungkin bisa diselesaikan manakala ada anggota kelompok yang tak bisa menyelesaikan tugasnya, dan semua ini memerlukan kerja sama yang baik dari masing-masing anggota kelompok. Anggota kelompok yang mempunyai kemampuan lebih diharapkan mau dan mampu membantu temannya untuk menyelesaikan tugasnya.

2) Tanggung jawab perseorangan (Individual Accountability)
Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip yang pertama, yaitu keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggota maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya. Oleh karena itu, guru perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga kelompok.

3) Interaksi tatap muka (Face To Face Promotion Interaction)
Pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk beratap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan masing-masing anggota, dan mengisi kekurangan masing-masing.

4) Partisipasi dan komunikasi (Participation Communication)
Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi.

c. Tujuan pembelajaran kooperatif
Tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, dalam Yusuf 2007). Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, (2000), yaitu sebagai berikut.

1) Hasil belajar akademik
Selain mencakup beragam tujuan sosial, belajar kooperatif juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit.

2) Penerimaan terhadap perbedaan individu
Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.

3) Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi.

d. Ciri-ciri pembelajaran kooperatif
Apabila diperhatikan secara seksama, maka pembelajaran kooperatif ini mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan model pembelajaran lainnya. Carin (dalam Yusuf, 2007) menyatakan bahwa ciri dari pembelajaran kooperatif adalah: (a) setiap anggota memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, (e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan. Sedangkan menurut Slavin (dalam Yusuf, 2007), ada tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif, yaitu penghargaan kelompok, pertanggungjawaban individu, dan kesempatan yang sama untuk berhasil.
Berdasarkan uraian tentang ciri-ciri atau karakterististik pembelajaran kooperatif di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tersebut memerlukan kerjasama antar siswa dan saling ketergantungan dalam struktur pencapaian tugas, tujuan, dan penghargaan. Keberhasilan pembelajaran ini tergantung dari keberhasilan masing-masing individu dalam kelompok, dimana keberhasilan tersebut sangat berarti untuk mencapai suatu tujuan yang positif dalam belajar kelompok (Trianto, 2007).
e. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif
Terdapat enam fase utama dalam pembelajaran kooperatif menurut Arends (dalam Yusuf, 2007). Pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan tujuan-tujuan dari pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian dilanjutkan langkah-langkah di mana siswa di bawah bimbingan guru bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung. Fase terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir kelompok atau mengetes apa yang telah dipelajari oleh siswa dan pengenalan kelompok dan usaha-usaha individu. Urutan langkah-langkah perilaku guru menurut model pembelajaran kooperatif yang oleh Arends (2008) dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Sintaksis model cooperative learning
Fase Tingkah Laku Guru
Fase 1:
Mengklarifikasikan tujuan dan establishing set Guru menjelaskan tujuan-tujuan pelajaran dan establishing set.
Fase 2:
Mempresentasikan informasi Guru mempresentasikan informasi kepada siswa secara verbal atau dengan teks.
Fase 3:
Mengorganisasikan siswa ke dalam tim-tim belajar Guru menjelaskan kepada siswa tatacara membentuk tim-tim belajar dan membantu kelompok untuk melakukan transisi yang efisien.
Fase 4:
Membantu kerja-tim dan belajar Guru membantu tim-tim belajar seama mereka mengerjakan tugasnya.
Fase 5:
Mengujikan berbagai materi Guru menguji pengetahuan siswa tentang berbagai materi belajar atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil-hasil kerjanya.
Lanjutan Tabel 1.
Fase 6:
Memberi pengakuan Guru mencari cara-cara untuk mengakui usaha dan prestasi individual maupun kelompok.
(Sumber: Arends, 2008)
f. Variasi dalam model pembelajaran kooperatif
Walaupun prinsip dasar pembelajaran kooperatif tidak berubah, namun terdapat beberapa variasi dari model tersebut. Menurut Arends (2008) ada empat pendekatan pembelajaran kooperatif dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif, yaitu Student Teams-Achievement Division (STAD), Jigsaw, Investigasi Kelompok (IK), dan Pendekatan Struktural. Perbedaan antara keempat pendekatan tersebut antara lain terlihat pada tujuan kognitif, tujuan sosial, struktur tim, cara pemilihan topik pelajaran, tugas utama setiap kelompok, penilaian, dan pengakuan/penghargaan. Adapun perbandingan dari keempat pendekatan pembelajaran kooperatif tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Perbandingan empat pendekatan terhadap cooperative learning
STAD Jigsaw Penyelidikan Kelompok Pendekatan Struktur
Tujuan Kognitif Pengetahuan akademis faktual Pengetahuan konseptual faktual dan akademis Pengetahuan konseptual akademis dan keterampilan menyelidiki Pengetahuan akademis faktual
Tujuan Sosial Kerja kelompok dan kerja sama Kerja kelompok dan kerja sama Kerja dalam kelompok kompleks Keterampilan kelompok dan keterampilan sosial
Struktur Tim Tim-tim belajar heterogen beranggota 4-5 orang Tim-tim belajar heterogen beranggota 5-6 orang; menggunakan tim-tim asal dan tim-tim ahli Kelompok belajar beranggota lima sampai enam orang, mungkin homogen Bervariasi- pasangan, trio, kelompok beranggota 4-6 orang
Pemilihan topik pelajaran Biasanya guru Biasanya guru Guru dan siswa Biasanya guru
Tugas Utama Siswa mungkin menggunakan worksheets dan saling membantu dalam menguasai materi belajar Siswa menyelidiki berbagai materi di kelomok ahli; membantu anggota-anggota di kelompok asal untuk mempelajari berbagai materi Siswa menyelesaikan penyelidikan yang kompleks Siswa mengerjakan tugas yang diberikan-sosial dan kognitif
STAD Jigsaw Penyelidikan Kelompok Pendekatan Struktur
Penilaian Tes mingguan Bervariasi-dapat berupa tes mingguan Proyek dan laporan yang sudah dibuat; dapat berbentuk tes esai Bervariasi
Pengakuan Newsletter dan publikasi lain Newsletter dan publikasi lain Presentasi lisan dan tertulis Bervariasi
(Sumber: Arends, 2008)

Pendekatan struktural dikembangkan oleh Spencer Kagen dan kawan-kawannya. Meskipun memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan lain, namun pendekatan ini memberi penekanan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur tugas yang dikembangkan oleh Kagen ini dimaksudkan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional, seperti resitasi, di mana guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas dan siswa memberi jawaban setelah mengangkat tangan dan ditunjuk. Struktur yang dikembangkan oleh Kagen ini menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif, daripada penghargaan individual. Ada struktur yang dikembangkan untuk meningkatkan perolehan isi akademik, dan ada struktur yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan sosial atau keterampilan kelompok. Dua macam struktur yang terkenal adalah think-pair-share dan numbered-head-together, yang dapat digunakan oleh guru untuk mengajarkan isi akademik atau untuk mengecek pemahaman siswa terhadap isi tertentu.

3. Pembelajaran kooperatif tipe think pair and share
Think Pair and Share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang pertama kali dikembangkan oleh Frank Lyman dan koleganya di Universitas Maryland yang mampu mengubah asumsi bahwa metode resitasi dan diskusi tidak hanya diselenggarakan dalam setting kelompok kelas secara keseluruhan. TPS memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain (Nurhadi, dalam Hartina, 2008). Teknik ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain (Lie, 2007).
Frank Lyman dan koleganya (dalam Arends, 2008) menerapkan langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe TPS sebagai berikut.
a. Tahap 1: Thinking (berpikir). Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang terkait dengan pelajaran dan meminta siswa-siswanya untuk menggunakan waktu satu menit untuk memikirkan sendiri tentang jawaban isu tersebut. Siswa perlu diajari bahwa berbicara tidak menjadi bagian dari waktu berpikir.
b. Tahap 2: Pairing (berpasangan). Guru meminta siswa untuk berpasang-pasangan dan mendiskusikan segala yang sudah mereka pikirkan. Interaksi selama periode ini dapat berupa saling berbagi ide bila sebuah isu tertentu teridentifikasi. Biasanya, guru memberikan waktu lebih dari empat atau lima menit untuk berpasangan (pairing).
c. Tahap 3: Sharing (berbagi). Pada tahap akhir, guru meminta pasangan-pasangan siswa untuk berbagi sesuatu yang sudah dibicarakan bersama pasangannya masing-masing dengan seluruh kelas. Lebih efektif bagi guru untuk berjalan mengelilingi ruangan, dari satu pasangan ke pasangan lain sampai sekitar seperempat atau separuh pasangan berkesempatan melaporkan hasil diskusi mereka.
Langkah-langkah model pembelajaran tersebut apabila dikaji dengan baik, maka akan memberikan peluang kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan menerapkan konsep, keterampilan berkomunikasi, dan keterampilan diskusi mengajukan pertanyaan. Menurut Hartina (2008), kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah: (a) memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi yang diajarkan karena secara tidak langsung memperoleh contoh pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta memperoleh kesempatan untuk memikirkan materi yang diajarkan, (b) siswa akan terlatih menerapkan konsep karena bertukar pendapat dan pemikiran dengan temannya untuk mendapatkan kesepakatan dalam memecahkan masalah, (c) siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, dimana tiap kelompok hanya terdiri dari 2 orang, (d) siswa memperoleh kesempatan untuk mempersentasikan hasil diskusinya dengan seluruh siswa sehingga ide yang ada menyebar, (e) memungkinkan guru untuk lebih banyak memantau siswa dalam proses pembelajaran. Senada dengan pendapat Hartina, Lie (2005) mengemukakan bahwa kelebihan dari kelompok berpasangan (kelompok yang teridiri dari 2 orang siswa) adalah: (1) akan meningkatkan pasrtisipasi siswa, (2) cocok untuk tugas sederhana, (3) lebih banyak memberi kesempatan untuk kontribusi masing-masing anggota kelompok, (4) interaksi lebih mudah, dan (5) lebih mudah dan cepat membentuk kelompok. Selain itu, menurut Lie, keuntungan lain dari teknik ini adalah teknik ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.
Adapun kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah sangat sulit diterapkan di sekolah yang rata-rata kemampuan siswanya rendah dan waktu yang terbatas, sedangkan jumlah kelompok yang terbentuk banyak (Hartina, 2008: 12). Menurut Lie (2005), kekurangan dari kelompok berpasangan (kelompok yang terdiri dari 2 orang siswa) adalah: (1) banyak kelompok yang melapor dan perlu dimonitor, (2) lebih sedikit ide yang muncul, dan (3) tidak ada penengah jika terjadi perselisihan dalam kelompok.

4. Media Pengajaran Visual
a. Konsep Dasar Media
Secara umum media merupakan kata jamak dari “médium”, yang berarti perantara atau penghantar. Istilah media digunakan juga dalam bidang pengajaran atau pendidikan sehingga istilahnya menjadi media pendidikan atau media pembelajaran (Sanjaya, 2006).
b. Taksonomi Media
1) Taksonomi menurut Rudy Bretz
Bretz mengindentifikasi ciri utama dari media menjadi tiga unsur pokok yaitu, suara, visual, dan gerak. Visual dibedakan menjadi tiga yaitu gambar, garis (line grapich) dan simbol yang merupakan suatu konstinum dari bentuk yang dapat ditangkap dengan indera penglihatan (Arief, 2006).
2) Hirarki Media menurut Duncan
Penyusunan taksonomi media menurut hirarki pemanfaatan untuk pendidikan. Duncan ingin mengajarkan biaya investasi, kelangkaan dan keluasan lingkup sasarannya di satu pihak dan kemudahan pengadaan serta penggunaan, keterbatasan lingkup sasaran dan rendahnya biaya, di lain pihak dengan tingkat kerumitan perangkat medianya dalam suatu hierarki. Dapat dijelaskan bahwa semakin rumit jenis perangkat media yang dipakai, semakin mahal biaya investasinya, semakin susah pengadaannya, tetapi semakin umum penggunaannya dan semakin luas lingkup sasarannya (Arief, 2006).
3) Taksonomi menurut Briggs
Taksonomi ini lebih mengarah pada karakteristik menurut stimulus atau rangsangan yang dapat ditimbulkan dari media sendiri, yaitu kesesuaian rangsangan tersebut dengan karakteristik siswa, tugas pembeljaran, bahan, dan trasmisinya (Arief, 2006).

4) Taksonomi menurut Gagne
Gagne membuat 7 macam pengelompokanmedia, yaitu benda untuk didemonstrasikan, komunikasi lisan, media cetak, gambar diam, gambar gerak, film bersuara, dan mesin belajar. Ketujuh kelompok media ini kemudian dikaitkan dengan kemampuan memenuhi fungsi menurut tingkatan hirarki belajar yang dikembangkannya yaitu pelontar stimulus belajar, penarik minat belajar (Arief, 2006).
5) Taksonomi menurut Edling
Edling beranggapan bahwa siswa, rangsangan belajar dan tanggapan merupakan variabel kegiatan belajar dengan media. Menurut Edling, media merupakan bagian dari enam unsur rangsangan belajar, yaitu dua untuk pengalaman audio meliputi kodifikasi subjektif visual, dan kodifikasi objektif visual, dan dua pengalaman belajar 3 dimensi meliputi pengalaman langsung dengan orang dan pengalamn langsung dengan benda-benda (Arief, 2006).
c. Media Pengajaran Visual
Media pengajaran visual memegang peranan penting dalam proses belajar. Media pengajaran visual dapat memperlancar pemahaman dan memperkuat ingatan, menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata. Media pengajaran visual dapat pula meningkatkan hasil belajar siswa. Perbandingan pemerolehan hasil belajar melalui indera pandang dan indera dengar sangat menonjol perbedaannya. Kurang lebih 90 % hasil belajar seseorang diperoleh melalui indera pandang, dan hanya sekitar 5 % diperoleh melalui indera dengar dan 5 % lagi dengan indera lainnya (Bagh dalam Achsin, 1986). Sementara itu, Dale (1969) dalam Arsyad (2006), memperkirakan bahwa pemerolehan hasil belajar melalui indera pandang berkisar 75 %, melalui indera dengar berkisar 13 % dan 12 % dari indera lainnya.
Menurut Silberman (1996), menyatakan bahwa apa yang saya dengar,saya lupa. Apa yang saya dengar, dan lihat, saya ingat sedikit. Apa yang saya dengar, lihat, dan tanyakan atau diskusikan dengan beberapa teman lain, saya mulai paham. Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan, dan lakukan, saya memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Apa yang saya ajarkan pada orang lain, saya kuasai.
Beberapa alasan yang kebanyakan orang cenderung melupakan apa yang mereka dengar. Salah satu alasan yang paling menarik adalah perbedaan tingkat kecepatan bicara pengajar dengan tingkat kecepatan kemampuan siswa mendengarkan.
Siswa dalam belajar tidak memperhatikan pelajaran kurang lebih 40 % dari waktu yang tersedia. Lebih lanjut, siswa mencapai 70% pada sepuluh menit pertama belajar, mereka hanya bertahan 20% pada sepuluh menit terakhir. Sehingga akibatnya, perhatian siswa berkurang seiring dengan berlalunya waktu. Dengan menambahkan visual pada pelajaran akan menaikkan ingatan dari 14% ke 38%. Juga menunjukkan perbaikan 200% ketika kosa kata diajarkan dengan menggunakan alat visual. Bahkan waktu yang diperlukan untuk menyampaikan konsep berkurang sampai 40% ketika visual digunakan untuk menambah presentasi verbal. Sebuah gambar atau model suatu objek barangkali tidak bernilai ribuan kata, namun tiga kali lebih efektif dari pada hanya kata-kata saja. Manakala pengajaran menggunakan visual, kesan menjadi lebih kuat dengan sistem penyampaian tersebut.
Kartu indeks adalah media pembelajaran yang berbentuk potongan-potongan kertas atau kartu yang berisi pertanyaan bergambar atau tertulis meliputi benar salah, tanya jawab, peta konsep, dan bongkar pasang yang dijawab dengan menempelkan potongan-potongan kertas jawaban pada kolom jawaban yang telah disediakan
Dalam aktifitas belajar guru melakukan presentasi yang merupakan sebuah kegiatan aktif antara pembicara (guru) dan audiens (siswa). Oleh karena itu seorang pembicara harus mampu membuat presentasi yang menarik untuk diikuti. Namun kebanyakan yang terjadi adalah siswa bosan dengan presentasi karena pembicara kurang mampu menyampaikan materi dengan baik.
Selain dengan pemberian kartu indeks juga digunakan soal-soal tersturuktur. Soal-soal terstruktur ini merupakan salah satu jenis tes evaluasi yang digunakan di kegiatan inti. Soal-soal terstruktur ini merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana tujuan pembelajaran telah dicapai oleh siswa.
Soal-soal terstruktur adalah salah satu jenis tes dengan pertanyaan terstruktur yang digunakan di kegiatan inti untuk mengetahui sejauh mana siswa dapat memahami tujuan pembelajaran.
Pemberian pertanyaan-pertanyaan yang berisi informasi yang menuntut anak untuk menggalai pengetahuan dan informasi yang diterima merupakan salah satu jalan untuk membantu anak mengingat kembali segala informasi dengan menggabungkannya dengan pengetahuan dasar yang dimiliki. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan, maka anak akan lebih mengingat apa yang dinformasikan dalam pertanyaan, sebab anak menemukan sendiri jawaban untuk setiap pertanyaan yang merupakan sumber informasi ke dua selain apa yang mereka dengar (Sudrajat, 2008).
Globalisasi telah memicu kecendrungan pergeseran dalam dunia pendidikan dari pendidikan tatap muka yang konvensional ke arah pendidikan yang lebih terbuka dengan memanfaatkan berbagai teknologi (Mukhopadhyay dalam Wardiana, 2002). Media pembelajaran kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT digunakan, sebab sekarang ini kita tidak dapat menghindari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang, terutama di bidang pendidikan. Untuk itu teknologi langsung yang berhubungan dengan pembelajaran adalah teknologi informasi dan komunikasi (Information Communication Technology).
Kata teknologi sering dipahami oleh orang awam sebagai sesuatu yang berupa mesin atau hal-hal yang berkaitan dengan prmesinan, namun sesungguhnya teknologi pendidikan memiliki makna yang lebih luas, karena teknologi pendidikan merupakan perpaduan dari unsur manusia, mesin, ide, prosedur, dan pengelolaannya (Hoba dalam Riyana, 2006) kemudian pengertian tersebut akan lebih jelas dengan pengertian bahwa pada hakikatnya teknologi adalah penerapan dari ilmu atau pengetahuan lain yang terorganisir ke dalam tugas-tugas praktis (Galbraith dalam Riyana, 2006). Keberadaan teknologi harus dimaknai sebagai upaya untuk meningkatkan aktivitas dan efisiensi dan teknologi tidak dapat dipisahkan dari masalah, sebab teknologi lahir dan dikembangkan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, maka teknologi pendidikan juga dapat dipandang sebagai suatu produk dan proses (Sadiman dalam Riyana, 2006). Sebagai suatu produk teknologi pendidikan mudah dipahami karena sifatnya lebih konkrit seperti radio, televisi, proyektor, OHP (Riyana, 2006).
Sebagai sebuah proses teknologi pendidikan bersifat abstrak. Dalam hal ini teknologi pendidikan bisa dipahami sebagai sesuatu proses yang kompleks, dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisa masalah, mencari jalan untuk mengatasi permasalahan, melaksanakan, menilai, dan mengelola pemecahan masalah tersebut yang mencakup semua aspek belajar manusia (AECT dalam Riyana, 2006).
Menurut Riyana (2006), sebagai bagian dari pembelajaran teknologi/ICT memiliki tiga kedudukan yaitu :
1) Peran tambahan (suplemen)
Dikatakan berfungsi sebagai suplemen (tambahan), pabila peserta didik mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran melalui ICT atau tidak. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban/keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi pembelajaran melalui ICT. Sekalipun sifatnya hanya opsional, peserta didik yang memanfaatkannya tentu akan memiliki tambahan pengetahuan atau wawasan. Walupun materi pembelajaran melalui ICT beperan sebagai suplemen, para dosen/guru tentunya akan senantiasa mendorong, menggugah, atau menganjurkan para peserta didiknya untuk mengakses materi pembelajaran melalui ICT yang telah disediakan.
2) Fungsi pelengkap (komplemen)
Dikatakan berfungsi sebagai komplemen (pelengkap), apabila materi pembelajaran melalui ICT diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima peserta didik di dalam kelas. Sebagai komplemen materi pembelajaran yang diterima peserta didik di dalam kelas. Sebagai komplemen berarti materi pembelajaran melalui ICT diprogramkan untuk menjadi materi reinforcement (pengayaan) yang bersifat enrichment atau remedial bagi peserta didik di dalam mengikuti kegiatan pembelajaran konvensional.
3) Fungsi pengganti (substitusi)
Tujuan dari fungsi pengganti (subtitusi) untuk membantu mempermudah para siswa mengelola kegiatan pembelajaran sehingga siswa dapat menyesuaikan waktu dan aktivitas lainnya.
Gambaran menganai pengetahuan seringakali dikaitkan dengan model saluran komunikasi, dimana komunikasi dipandang sebagai pertukaran informasi melalui suatu jalur diantara pihak-pihak yang terlibat. Dari perspektif tersebut, ICT dipandang
hanya sebagai sebuah alat yang menyediakan sebagai jalur komunikasi yang baru sehingga akhirnya memajukan proses komunikasi. (Albert dan Michael, 2008).
Beberapa manfaat media pengajaran dalam bentuk kartu indeks dan soal-soal terstrktur berbasis ICT, yaitu pada proses pembelajaran adalah :
1) Dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki siswa.
2) Dapat menagatasi hal-hal yang terlalu kompleks dan terlalu rumit untuk diamati.
3) Menghasilkan keseragaman pengamatan siswa terhadap sesuatu.
4) Membangkitkan keinginan dan minat belajar siswa yang baru, serta memberikan motivasi dan merangsang kegiatan belajar mengajar siswa.
5) Menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan.
6) Memperlancar pencapaian tujuan pembelajaran untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung pada model tersebut.
7) Membawa kesegaran dan variasi bagi pengalaman belajar siswa.
8) Memberikan umpan balik yang diperlukan yang dapat membantu siswa menemukan seberapa banyak yang telah mereka pelajari.

5. Hasil Belajar
Hasil belajar adalah nilai yang menggambarkan tingkat pemahaman siswa setelah mengikuti pelajaran. Hasil belajar, untuk sebagian adalah berkat tindak guru, suatu pencapaian tujuan pengajaran. Pada bagian lain, merupakan peningkatan kemampuan mental siswa. Hasil belajar tersebut dibedakan menjadi dampak pengajaran, dan dampak pengiring. Dampak pengajaran adalah hasil yang dapat diukur, seperti tertuang dalam angka rapor, angka dalam ijazah, atau kemampuan meloncat setelah latihan. Dampak pengiring adalah terapan pengetahuan dan kemampuan di bidang lain, suatu transfer belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2006).
Istilah hasil belajar berasal dari dua kata yaitu “hasil” dan “belajar”. Dalam kamus bahasa Indonesia kata hasil berarti sesuatu yang menjadi akibat dari usaha. Sedangkan kata belajar mempunyai banyak pengertian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah sesuatu atau akibat yang diperoleh dari suatu usaha yang telah dilakukan/dialami oleh seseorang (siswa) yang dituangkan dalam bentuk kecakapan, kecerdasan, keterampilam dan tingkah laku.
Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Ditinjau dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Ditinjau dari siswa, hasil belajar merupakan berkhirnya penggal dan puncak proses belajar (Dimyati, 2002).
Hasil belajar pada hakekatnya merupakan suatu perubahan perilaku yang terjadi pada diri peserta didik. Pada umunya hasil belajar akan memberikan pengaruh dalam dua bentuk : (1) peserta didik akan mempunyai perspektif terhadap kekuatan dan kelemahannya atas perilaku yang diinginkannya; (2) mereka mendapatkan bahwa perilaku yang diinginkan itu telah meningkat baik setahap atau dua tahap, sehingga timbul lagi kesenjangan antara penampilan perilaku yang sekarang dengan perilaku yang diinginkan (Mulyasa, 2006).
Dengan diadakannya penilaian, maka siswa dapat mengetahui sejauh mana telah berhasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru atau seberapa besar pemahaman siswa terhadap suatu materi pelajaran tersebut. Hasil penilaian yang diperoleh guru akan dapat mengetahui siswa-siswa mana yang sudah berhak melanjutkan pelajarannya karena sudah menguasai materi, maupun mengetahui siswa-siswa mana yang belum berhasil menguasai materi. Hal ini tentu saja dapat diketahui dengan melihat hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa tersebut dapat diketahui dengan memberikan tes yang dibuat khusus oleh peneliti setelah proses pembelajaran berlangsung.
Dengan hasil belajar yang diperoleh guru akan mengetahui apakah metode serta media yang digunakan sudah tepat atau belum. Jika sebagian besar siswa memperoleh angka jelek pada penilaian yang diadakan, mungkin hal ini disebabkan oleh pendekatan atau metode dan media yang digunakan kurang tepat. Apabila demikian halnya, maka guru harus mawas diri dan mencoba mencari metode dan media lain dalam mengajar. Hasil belajar juga merupakan cerminan kualitas sutau sekolah (Arikunto, 2005).
Peran guru dalam pembelajaran yaitu membuat desain instruksional, menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, bertindak mengajar atau membelajarkan, mengevaluasi hasil belajar yang berupa dampak pengajaran. Peran siswa adalah bertindak belajar, yaitu mengalami proses belajar, mencapai hasil belajar, dan menggunakan hasil belajar yang digolongkan sebagai dampak pengiring.
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar sebagai objek penelitian dapat dikategorikan menjadi 3 ranah, yaitu: (i) Kognitif, (ii) Afektif, dan (iii) Psikomotorik. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual, meliputi pengetahuan dan ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Ranah afektif berkenaan dengan sikap meliputi: penerimaan, jawaban atau reaksi, dan penilaian. Ranah psikomotorik berkenaan dengan keterampilan (Sudjana,1989).
Menurut Mulyono (1999), hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Hasil belajar adalah indikator kualitas dan pengetahuan yang dikuasai oleh siswa. Tinggi rendahnya hasil belajar dapat menjadi indikator untuk mengukur sedikit banyaknya pengetahuan yang dikuasai siswa dalam bidang studi atau kegiatan kurikulum tertentu.
Studi mengenai penggunaan pesan visual dalam hubungannya dengan hasil belajar menunjukkan bahwa pesan-pesan visual yang moderat memberikan pengaruh tinggi terhadap prestasi belajar siswa. Pesan visual yang paling sederhana, praktis, mudah dibuat dan banyak diminati siswa pada jenjang pendidikan dasar adalah gambar, terlebih lagi gambar berwarna. Hasil studi juga menunjukkan bahwa siswa-siswa pada pendidikan dasar lebih menyenangi gambar berwarna dari pada hitam putih, memilih foto daripada gambar, dan memilih gambar sederhana dari pada yang rumit serta memilih realisme dalam hal bentuk dan warna (Sudjana, 2005).
Setelah membaca uraian diatas, maka dapat dipahami mengenai makna kata hasil dan belajar yang apabila dipadukan dapat diambil pengertian sederhana mengenai hal ini bahwa, hasil belajar adalah ukuran yang menyatakan seberapa jauh tujuan pengajaran yang telah dicapai oleh siswa dengan pengalaman yang telah diberikan atau disiapkan oleh sekolah.


6. Pembelajaran Konsep Jamur Dalam KTSP
Konsep jamur yang dipelajari oleh siswa kelas X merupakan salah satu materi yang terdapat kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) kelas X semester I, standar kompotensi 2 memahami prinsip-prinsip pengelompokan makhluk hidup, dan pada kompetensi dasar 2.4 mendeskripsikan ciri-ciri dan jenis-jenis jamur berdasarkan hasil pengamatan, percobaan dan kajian literatur serta perananya bagi kehidupan. Konsep ini cukup sulit dijelaskan oleh guru jika tidak menggunakan model dan media pembelajaran. Hal ini disebabkan karena materi ini kebanyakan memuat hal-hal atau objek yang kurang jelas untuk diamati secara langsung.
Pada konsep ini membahas tentang ciri-ciri yang meliputi struktur tubuh, reproduksi dan daur hidup, jenis-jenis, serta klasifikasi dari jamur. Tanpa ada penjelasan dari guru mengenai penggunaan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT, siswa akan kesulitan dalam memahami materi ini. Akibatnya presentasi atau materi yang disampaikan oleh guru tanpa menggunakan model dan media pembelajaran tersebut akan membuat siswa merasa bosan sehingga akan berdampak pada hasil belajar yang rendah karena kurangnya pemahaman siswa.
Oleh karena itu sangat diperlukan adanya model pembelajaran dan alat bantu dalam pembelajaran yaitu penggunaan model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share dipadukan dengan media pengajaran visual dalam bentuk kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT. Media ini dapat membantu siswa dalam memahami materi pelajaran dengan objek pengamatan yang terlalu kecil dengan kata lain mengatasi keterbatasan indera, ruang, dan waktu. Selain itu penggunaan model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share dipadukan dengan media ini akan menarik perhatian siswa dan membuat siswa tertarik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran sampai akhir jam pelajaran.

H. Kerangka Pikir
Peranan guru dalam proses pembelajaran tidak lagi sebagai pentransfer pengetahuan tetapi sebagai motivator dan fasilitator bagi siswa dalam belajar. Oleh karena itu, peran aktif siswa dalam proses belajar mengajar sangat diharapkan agar dapat mencapai proses dan hasil belajar yang produktif.
Permasalahan yang muncul dalam proses belajar mengajar diantaranya adalah tingkat penguasaan materi yang rendah. Materi sistem pernapasan dan peredaran darah merupakan salah satu materi pelajaran biologi yang dianggap sulit oleh siswa. Hal ini disebabkan karena dalam mempelajari materi tersebut, siswa cenderung hanya menghafalkan konsep-konsepnya tanpa memahami dengan benar. Akibatnya motivasi siswa menurun dan siswa cenderung bersikap pasif dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, guru sebagai motivator dan fasilitator hendaknya mencari alternatif pemecahan masalah tersebut. Salah satunya adalah dengan memilih model pembelajaran yang relevan untuk mengaktifkan siswa dan meningkatkan hasil belajar siswa.
Salah satu model pembelajaran yang memenuhi kriteria tersebut adalah model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share dipadukan dipadukan dengan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT. Model pembelajaran kooperatif tipe TPS merupakan salah satu pendekatan pembelajaran motivasional yang diyakini mampu meningkatkan motivasi dan peran aktif siswa dalam proses belajar mengajar. Melalui model pembelajaran ini, siswa diberi kesempatan untuk memikirkan materi yang sedang dipelajari dan bertukar pikiran dengan siswa lain sebelum ide mereka dikemukakan di depan kelas, sehingga penguasaan siswa terhadap konsep-konsep yang sulit lebih besar dan mendorong siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran yang pada akhirnya akan meningkatkan hasil belajar siswa.
Dalam proses belajar mengajar, anak didik merupakan subjek utama yang secara aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diciptakan oleh guru. Proses mengajar dipandang efektif jika dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Untuk itu diperlukan teknik dan media penunjang bagi proses pembelajaran yang dapat mengefektifkan proses pembelajaran serta menciptakan suatu lingkungan belajar yang menarik bagi peserta didik. Hal ini perlu agar tidak terjadi kegagalan dalam penyampaian informasi pelajaran kepada anak didik sehingga tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dapat tercapai.
Fungsi utama media pengajaran adalah sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru. Proses belajar mengajar di SMA NEG 1 Bulukumba khususnya kelas X cenderung hanya menggunakan metode ceramah tanpa adanya penggunaan media pembelajaran. Untuk dapat mengatasi masalah tersebut maka dalam proses belajar mengajar diperlukan adanya media pengajaran visual guna meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.
Media berbasis visual memegang peranan yang sangat penting dalam proses belajar mengajar. Media visual dapat memperlancar pemahaman dan memperkuat ingatan dengan memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata sehingga menumbuhkan minat belajar siswa. Visualisasi pesan, informasi, atau konsep yang ingin disampaikan kepada siswa dapat dikembangkan dalam berbagai bentuk seperti dalam kartu indeks dan dalam bentuk soal-soal terstruktur berbasis ICT.
Penggunaan media pengajaran visual (kartu indeks,soal-soal terstruktur berbasis ICT) diharapkan dapat membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran, memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan, membawa kesegaran dan variasi baru bagi pengalaman belajar siswa sehingga siswa tidak bosan, meningkatkan pencurahan waktu pada tugas, rasa harga diri menjadi lebih tinggi, pemahaman yang lebih mendalam, meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, toleransi dan hasil belajar lebih tinggi.





















Gambar 1. Alur kerangka pikir



I. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini yaitu, ada pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share dipadukan dengan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT terhadap hasil belajar biologi siswa kelas X SMA NEG 1 Bulukumba.
J. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasi eksperimental) yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share dipadukan dengan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT terhadap hasil belajar biologi siswa kelas X di SMA Negeri 1 Bulukumba.

2. Variabel penelitian
Dalam penelitian ini variabel yang diselidiki terdiri dari dua macam variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah penggunaan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT, sedangkan variabel terikat adalah hasil belajar biologi siswa.

3. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah post test with control group design, yang melibatkan dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Model desain penelitian dapat dilihat pada tabel 1 berikut.




Tabel. 3 Model Desain Penelitian (Arikunto, 1998)
Kelompok Perlakuan Postest
E X O

K - O


Keterangan :
E : kelas ekperimen
K : kelas kontrol
X : pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
Think Pair and Share dipadukan dengan kartu indeks dan soal-soal
terstruktur berbasis ICT
- : pembelajaran tanpa menggunakan model pembelajaran kooperatif Think
Pair and Share dipadukan dengan kartu indeks dan soal-soal terstruktur
berbasis ICT
O : tes hasil belajar setelah perlakuan
4. Populasi dan Sampel
b. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Neg. 1 Bulukumba pada tahun ajaran 2008/2009 yang terdiri dari enam kelas pararel dengan jumlah keseluruhan 180 siswa.
c. Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas X yang masing-masing kelas berjumlah 30 orang siswa. Pengambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling). Dari dua kelas yang terpilih sebagai sampel, dibagi menjadi kelas eksperimen dan kelas kelas kontrol.

5. Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Neg. 1 Bulukumba
b. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester I/ ganjil tahun ajaran 2011/ 2012.
6. Prosedur Penelitian
Prosedur dalam penelitian ini dibagi ke dalam 2 tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.
a. Persiapan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan ini adalah :
1) Mengadakan observasi dilokasi penelitian, setelah mendapat persetujuan dari kepala sekolah, menentukan satu kelas sebagai kelompok eksperimen dan satu kelas lagi sebagai kelompok kontrol secara acak.
2) Menganalisis kurikulum untuk melihat standar kompetensi dan kompetensi dasar sehingga tampak materi pelajaran yang akan diajarkan, yaitu pada pokok bahasan tentang Jamur (fungi).
3) Menganalisis kompetensi dasar untuk dikembangkan menjadi beberapa indikator sekaligus merumuskan tujuan pembelajaran.
4) Membuat silabus berdasarkan kompetensi dasar yang telah dipilih dan disesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.
5) Merancang dan Membuat RPP atau skenario pembelajaran berdasarkan silabus dengan alokasi waktu 6 jam pelajaran (3 kali pertemuan, tidak termasuk evaluasi).
6) Membuat media pembelajaran yaitu kartu indeks, soal-soal terstruktur. Presentasi materi pelajaran dalam bentuk microsoft powerpoint. Bentuk media pengajaran visual tersebut digunakan pada kelompok eksperimen, sedangkan pada kelompok kontrol tidak menggunakan media pengajaran tersebut.
7) Merancang dan membuat instrumen atau alat evaluasi, untuk mengukur kemampuan atau pemahaman siswa setelah mengikuti pelajaran berupa tes hasil belajar.

b. Pelaksanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaan ini adalah :
1) Pelaksanaan kegiatan pembelajaran
a) Kelompok Eksperimen
Kegiatan belajar mengajar ditempuh dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif . Adapun sintaks model pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif
Fase Kegiatan Guru
1 Menyampaikan tujuan pelajaran yang akan dicapai dan memotivasi
siswa belajar
Lanjutan Tabel 4.
2 Menyajikan materi pelajaran kepada siswa dengan jalan, presentasi dan lewat bahan bacaan
3 Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar (thinking).
4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar (pairing)
5 Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari. Satu-dua kelompok mempresentasikan hasil kerjanya (sharing).
6 Memberikan penghargaan terhadap upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok

Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan selama 6 jam pelajaran. Satu jam pelajaran selama 45 menit. Kegiatan belajar mengajar secara keseluruhan dilaksanakan selama 3 kali pertemuan.
(1) Pertemuan ke I
Topik pembelajaran pada pertemuan pertama adalah identifikasi jamur, dengan alat dan bahan yang digunakan yaitu LCD projektor, laptop, CD yang berisi presentasi materi dalam bentuk microsoft power point, LKS, kartu indeks, serta bahan bacaan yang dibagikan. Guru memotivasi siswa dengan menggunakan kartu indeks. Guru menyajikan materi pelajaran kepada siswa dengan jalan presentasi dengan menggunakan LCD projektor dan setiap point materi yang dijelaskan diselingi dengan soal-soal terstruktur berbasis ICT. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa mengerjakan tugas dengan mengisi LKS dan mendiskusikan jawaban soal pada LKS yang diberikan oleh guru dengan cara setiap kelompok mengerjakan petunjuk yang telah ada sesuai dengan instruksi guru.dari setiap kartu indeks yang telah dibagikan sesuai dengan instruksi guru. Guru melakukan evaluasi dengan persentasi setiap wakil kelompok dan memberikan penghargaan kepada kelompok yang kinerjanya bagus.
(2) Pertemuan ke II
Topik pembelajaran pada pertemuan kedua adalah pengklasifikasian jamur, menjelaskan divisi Zygomycota dan Ascomycota dengan alat dan bahan yang digunakan yaitu LCD projektor, laptop, CD yang berisi presentasi materi dalam bentuk microsoft power point, LKS, kartu indeks, serta bahan bacaan yang dibagikan. Guru memotivasi siswa dengan memberikan pertanyaan kepada siswa tentang materi yang telah dipelajari sebelumnya, dan menggunakan kartu indeks untuk materi selanjutnya. Guru menyajikan materi pelajaran kepada siswa dengan jalan presentasi dengan menggunakan LCD projektor dan setiap point materi yang dijelaskan diselingi dengan soal-soal terstruktur berbasis ICT. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa mengerjakan tugas dengan mengisi LKS dan mendiskusikan jawaban soal pada LKS melalui diskusi kelompok. Guru melakukan evaluasi dengan persentasi setiap wakil kelompok, dan memberikan penghargaan kepada kelompok yang kinerjanya bagus.
(3) Pertemuan ke III
Topik pembelajaran pada pertemuan ketiga adalah menjelaskan divisi Basiodiomycota dan Deuteromycota, lumut kerak, dan mikoriza dengan alat dan bahan yang digunakan yaitu LCD projektor, laptop, CD yang berisi presentasi materi dalam bentuk microsoft power point, LKS, kartu indeks, serta bahan bacaan yang dibagikan. Guru memotivasi siswa dengan menggunakan kartu indeks. Guru menyajikan materi pelajaran kepada siswa dengan jalan presentasi dengan menggunakan LCD projektor dan setiap point materi yang dijelaskan diselingi dengan soal-soal terstruktur berbasis ICT. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar Siswa mengerjakan tugas dengan mengisi LKS dan mendiskusikan jawaban soal pada LKS melalui diskusi kelompok. Guru melakukan evaluasi dengan persentasi setiap wakil kelompok, dan memberikan penghargaan kepada kelompok yang kinerjanya bagus.
b) Kelompok kontrol
Tahap pelaksanaan pada kelompok kontrol sama dengan tahap pelaksanaan pada kelompok eksperimen yaitu tidak menggunakan model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share dipadukan dengan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT dalam proses pembelajaran. Tetapi mereka hanya mendengarkan ceramah dari guru.
(1) Pertemuan ke I
Topik pembelajaran pada pertemuan pertama adalah identifikasi jamur, dengan alat dan bahan yang digunakan yaitu papan tulis, spidol, LKS, serta bahan bacaan yang dibagikan. Guru memotivasi siswa dengan memberikan pertanyaan secara lisan untuk mengetahui pengetahuan dasar siswa. Guru menyajikan materi pelajaran kepada siswa dengan menggunakan papan tulis dan lewat bahan bacaan yang dibagikan. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa mengerjakan tugas dengan mengisi LKS dan mendiskusikan jawaban soal pada LKS melalui diskusi kelompok. Guru melakukan evaluasi dan memberikan penghargaan kepada kelompok yang kinerjanya bagus.
(2) Pertemuan ke II
Topik pembelajaran pada pertemuan kedua adalah pengklasifikasian jamur, menjelaskan divisi Zygomycota dan Ascomycota, dengan alat dan bahan yang digunakan yaitu papan tulis, spidol, LKS, serta bahan bacaan yang dibagikan. Guru memotivasi siswa dengan memberikan pertanyaan secara lisan untuk mengetahui pengetahuan dasar siswa. Guru menyajikan materi pelajaran kepada siswa dengan menggunakan papan tulis dan lewat bahan bacaan yang dibagikan. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa mengerjakan tugas dengan mengisi LKS dan mendiskusikan jawaban soal pada LKS melalui diskusi kelompok. Guru melakukan evaluasi dan memberikan penghargaan kepada kelompok yang kinerjanya bagus.
(3) Pertemuan ke III
Topik pembelajaran pada pertemuan pertama adalah menjelaskan divisi Basiodiomycota dan Deuteromycota, lumut kerak, dan mikoriza dengan alat dan bahan yang digunakan yaitu papan tulis, spidol, LKS, serta bahan bacaan yang dibagikan. Guru memotivasi siswa dengan memberikan pertanyaan secara lisan untuk mengetahui pengetahuan dasar siswa. Guru menyajikan materi pelajaran kepada siswa dengan menggunakan papan tulis dan lewat bahan bacaan yang dibagikan. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa mengerjakan tugas dengan mengisi LKS dan mendiskusikan jawaban soal pada LKS melalui diskusi kelompok. Guru melakukan evaluasi dan memberikan penghargaan kepada kelompok yang kinerjanya bagus.

2) Evaluasi
Tahap-tahap pelaksanaan evaluasi hasil belajar biologi siswa adalah sebagai berikut :

a) Test
Mengevaluasi hasil belajar siswa dengan menggunakan test objektif. Langkah-langkah yang ditempuh dalam mengevaluasi hasil belajar biologi siswa, yaitu sebagai berikut :
(1) Tahap pertama
Menganalisis item-item soal untuk mengetahui validitas isinya yang dilakukan oleh validator ahli.
(2) Tahap dua
Soal yang dinyatakan valid, selanjutnya diujikan pada kelas ekseperimen dan kelas kontrol.
b) Tahap pengumpulan data
Nilai hasil belajar biologi siswa diperoleh dengan terlebih dahulu menghitung jumlah skor jawaban yang benar dari keseluruhan item soal yang diujikan. Siswa yang menjawab dengan benar setiap item soal diberi skor 1, sedangkan siswa yang menjawab salah atau sama sekali tidak menjawab maka diberi skor 0. Dari jumlah skor yang diperoleh tersebut selanjutnya dianalisis untuk mengetahui nilai hasil belajar yang diperoleh dengan menggunakan rumus :


Nilai = Jumlah jawaban benar x 100 %
Jumlah soal



c) Teknik Analis Data
Data yang diperoleh mengenai hasil belajar siswa dianalisis dengan menggunakan dua cara yaitu :
1) Secara statistik deskriptif, bertujuan untuk mendeskripsikan hasil belajar biologi yang diperoleh siswa setelah mengikuti semua materi pelajaran baik pada kelompok eksperimen maupun pada kelompok kontrol. Hasil belajar tersebut selanjutnya dibandingkan dengan pengelompokkan hasil belajar berikut (Arikunto, 2005) :
Tabel 5. Pedoman pengkategorian hasil belajar siswa
Interval Nilai
(angka 100) Pengkategorian
90-100 Sangat Baik
80-89 Baik
65-79 Cukup
55-64 Kurang
≤54 Kurang Sekali




2) Secara statistik inferensial, bertujuan untuk mengetahui atau membuktikan kebenaran hipotesis penelitian. Data tes hasil belajar biologi siswa diuji dengan menggunakan uji-t dengan taraf kepercayaan α = 5 % = 0,05. Rumus yang digunakan dalam uji-t ini adalah :

t =


Keterangan :
X1 = Nilai rata-rata kelas eksperimen
X2 = Nilai rata-rata kelas kontrol
S1 = Standar deviasi kelas eksperimen
S2 = Standar deviasi kelas kontrol
n1 = Jumlah siswa kelas eksperimen
n2 = Jumlah siswa kelas kontrol
• Hipotesis penelitian yang akan diuji adalah :
1. H0 : X1 = X2 (Tidak ada pengaruh)
2. H1 : X1 ≠ X2 (ada pengaruh)
• Kriteria pengujian hipotesis adalah :
1. Jika thitung > ttabel, maka H0 ditolak (H1 diterima), berarti ada perbedaan hasil belajar antara siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share dipadukan dengan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT dengan siswa yang belajar tanpa menggunakan model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share dipadukan dengan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT
2. Jika thitung < ttabel, maka H0 diterima (H1 ditolak), berarti tidak ada perbedaan hasil belajar antara siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share dipadukan dengan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT dengan siswa yang belajar tanpa model pembelajaran kooperatif Think Pair and Share dipadukan dengan kartu indeks dan soal-soal terstruktur berbasis ICT.

K. Rencana Biaya
Rencana biaya pelaksanaan penelitian ini adalah seperti pada Tabel 6 berikut .
Tabel 6. Rincian biaya penelitian
No Perincian Biaya Biaya (Rp)
1. Biaya persiapan 2.000.000,00
2. Biaya pengumpulan data 2.500.000,00
3. Biaya pengolahan dan Analisis data 850.000,00
4. Biaya penyusunan proposal 1.500.000,00
5. Biaya seminar hasil 2.000.000,00
6. Biaya perbaikan dan penggandaan hasil penelitian 2.000.000,00
JUMLAH 10.850.000,00



L. Daftar Pustaka
Abdullah, A. E. 1990. Pokok-pokok Layanan Bimbingan Belajar. Ujung Pandang
: FMIPA IKIP
Albert, Daniel dan Michael Budiman. 2008. New Frontiers in the theorization of
ICT Mediated Interaction. Diakses tanggal 22 Maret 2011.
http://NewFrontiersintheTheorizationofICTMediatedInteraction.pdf.

Arends, R. I. 2008. Learning To Teach Buku 2. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Pelajar.

Arief, Sadiman, dkk. 2006. Media Pendidikan (Pengertian, Pengembangan, dan
Pemanfaatannya). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Arikunto, Suharsimi. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.

Arsyad, A. 2006. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Deporter, B. 2002. Quantum Teaching. Bandung: KAIFA.

Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamalik, Oemar. 2001. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Hartina. 2008. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share
(TPS) terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 5
Makassar (Studi pada Materi Pokok Laju Reaksi). Skripsi tidak diterbitkan. Jurusan Kimia FMIPA UNM

Ibrahim, M, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Unesa University Press.


Kurniawan, I. 2003. Analisis Kualitas Proses Belajar Mengajar Siswa yang
Diajar dengan Menggunakan Media Inovatif dan yang Diajar dengan
Menggunakan Media Konvensional. Skripsi. FMIPA. UNM. Makassar.

Lie, Anita. 2005. Cooperative Learning:“Mempraktekkan Cooperative Learning
di dalam Ruang-Ruang Kelas”. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia

Mulyasa. 2006. Kurikulum Yang Disempurnakan, Pengembangan Standar Kompetensi Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya.


Mulyono. A. 1999. Pendidikan Bagi Kesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurhayati B, & Wellang, Lukman. 2004. Strategi Belajar Mengajar. Makassar: Jurusan Biologi FMIPA UNM.

Purwadarminta, W. J. S. 1990. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.

Riyana, Cepi. 2006. Peranan Teknologi Dalam Pembelajaran.
http://chepy.files.wordpress.com/2006/08/peran-teknologi.pdf.Diakses
tanggal 22 Maret 2011.

Sanjaya. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media

Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Silbermann, Mell. 1996. Active Learning. Yogyakarta: YAPPENDIS.

Solihatin, E & Raharjo. 2007. Cooperative Learning “Analisis Model
Pembelajaran IPS”. Jakarta: Bumi Aksara.

Sudjana. 1989. Metode Statistik. Bandung: Tarsito.

Sudjana, N dan Ahmad Rivai. 2005. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.

Tilaar, H. A. R. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka
Cipta.

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Yusuf. 2007. Pembelajaran Kooperatif Tipe Take and Give. http://damandiri. or.id/file/yusufnsbab2.pdf. Diakses pada tanggal 15 Maret 11.

Terapi Gen

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bioteknologi modern memanfaatkan keterampilan manusia dalam melakukan manipulasi makhluk hidup agar dapat digunakan untuk menghasilkan suatu barang yang diinginkan. Bioteknologi modern menggunakan organisme hasil rekayasa genetika melalui perlakuan yang mengubah landasan penentu kemampuan hidup, yaitu mengubah tatanan gen yang menentukan sifat spesifik suatu organisme, sehingga proses pengubahan dapat berlangsung secara lebih efisien dan efektif.
Kemajuan bioteknologi, tak terlepas dari peran mikroba. Karena materi genetika mikroba sederhana, sehingga mudah dimanipulasi untuk disisipkan ke gen yang lain. Disamping itu karena materi genetik mikroba dapat berperan sebagai vektor (plasmid) yang dapat memindahkan suatu gen dari kromosom oganisme ke gen organisme lainnya, misalnya terapi gen (Anonim b, 2007).
Bioteknologi bak mesin ajaib, yang mampu melakukan berbagai proses penting dalam dunia industri di beberapa bidang antara lain bidang kesehatan, pangan, pertanian, industri lainnya serta lingkungan. Di bidang kesehatan, penerapan bioteknologi atau kegiatan rekayasa genetika menghasilkan produk-produk penting berupa senyawa-senyawa yang mempunyai fungsi terapeutik seperti antibiotik, vaksin, hormon, kit diagnostika atau memperbaiki gen rusak/ tidak fungsional (terapi gen), produk farmasi lainnya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai terapi gen sebagai salah satu produk bioteknologi modern di bidang kesehatan.






B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan terapi gen?
2. Bagaimana mekanisme kerja terapi gen?
3. Bagaimana prinsip-prinsip terapi gen ?
4. Bagaimana penanggulanan penyakit melalui beberapa gen oleh terapi gen?

C. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian terapi gen.
2. Untuk mengetahui mekanisme kerja terapi gen.
3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip terapi gen.
4. Untuk mengetahui penanggulanan penyakit melalui beberapa gen oleh terapi gen?

D. Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman kita bioteknologi modern khususnya terapi gen..












BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian terapi gen
Jika rekayasa genetika sudah banyak diterapkan dan berhasil, maka terapi gen baru boleh dilakukan dalam skala penelitian dan para pakar memperkirakan masih sekitar tujuh sampai lima belas tahun lagi terapi gen baru dapat terealisasi (Pray, 2004:Wang, et al., 2004 dalam Duwi, 2010). Namun demikian terapi gen cukup menjanjikan harapan bagi para penderita penyakit, terutama penyakit keturunan (Duwi, 2010).
Menurut Farida (2007), terapi gen adalah teknik untuk mengoreksi gen-gen yang cacat yang bertanggung jawab terhadap suatu penyakit. Pendekatan terapi gen yang berkembang adalah :
1. Menambahkan gen-gen normal ke dalam sel yang mengalami ketidaknormalan.
2. Melenyapkan gen abnormal dengan gen normal dengan melakukan rekombinasi homolog.
3. Mereparasi gen abnormal dengan cara mutasi balik selektif, sedemikian rupa sehingga akan mengembalikan fungsi normal gen tersebut.
4. Mengendalikan regulasi ekspresi gen abnormal tersebut, lebih kea rah gagasan mencegah diekspresikannya gen-gen yang jelek atau abnormal, dikenal dengan istilah gene silencing. Gene silencing adalah satu proses membungkam ekspresi gen yang pada mulanya diketahui melibatkan mekanisme pertahanan alami pada tanaman untuk melawan virus.
Terapi gen atau gen therapy merupakan modifikasi materi genetik (DNA) dari sel untuk tujuan pengobatan. Berbeda dengan pengobatan umumnya saat ini, pengobatan ini dilakukan dengan cara mengubah struktur gen yang kemudian disisipkan ke DNA target (Anonima. 2010).
Dengan menggunakan sistem tersebut, klinik percobaan terapi gen menunjukan bahwa terapi gen mampu mengobati beberapa jenis penyakit diantaranya : penyakit kanker, peredaran darah, monogenik dan beberapa jenis penyakit lainnya. Terapi gen merupakan pendekatan baru dalam pengobatan kanker, yang saat ini masih bersifat eksperimental. Sejak mengetahui bahwa kanker merupakan penyakit akibat mutasi gen, para ahli mulai berpikir bahwa terapi gen tentu efektif untuk mengobatinya. Apalagi kanker jauh lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan penyakit keturunan akibat kelainan genetis yang selama ini diobati dengan terapi gen (Anonima. 2010).
Berdasarkan sel target yang digunakan, terapi gen dibedakan dalam dua tipe utama, yaitu Somatik dan Germ-line. Modifikasi gen yang tidak melewati keturunan disebut dengan terapi gen somatik sedangkan modifikasi gen yang mencakup sel reproduksi adalah terapi gen Germ-line. Sel target dari terapi gen somatik adalah sel stem, fibroblas dan sel stem lainnya. Target dari terapi gen germ-line adalah sperma atau sel telur (Anonima. 2010).

B. Mekanisme kerja terapi gen
1. Terapi gen secara ex vivo dan in vivo
Transfer gen merupakan langkah penting dalam proses terapi gen. Gen yang akan digunakan mula-mula diisolasi dan kemudian di transformasikan ke sel target dengan cara di kloning (Mohammad, 2008).











Gambar 1. Terapi gen secara ex vivo dan in vivo
Strategi utama dalam transfer gen somatik manusia dibedakan dalam dua kelompok, yaitu : Ex vivo dan in vivo. Pada ex vivo, gen dibungkus vektor kemudian dikenalkan ke sel yang diambil dari pasien (sel target) dan dikembangkan secara invitro dan kemudian di transformasi ke sel yang diinjeksi kembali. Pada invivo pengiriman gen dilakukan secara langsung ke sel pasien tanpa dikembangkan dulu secara invitro (Mohammad, 2008).
Pada ex-vivo terdapat juga cara transfer gen nonviral yaitu pengiriman gen tanpa menggunakan bakteri atau virus. Pengiriman gen dilakukan dengan cara injeksi langsung, gen gun dan liposom. Injeksi secara langsung dilakukan dengan mengirimkan DNA ke tempat ekstra seluler yang memiliki perbedaan hipertonik solution salinitas dan sukrosa. Gen gun digunakan dengan cara memanfaatkan ledakan kecil helium yang membawa potongan DNA patogen yang berukuran sangat kecil sehingga mampu masuk ke nukleus kulit dan sel otot. Teknik liposom dilakukan dengan cara memanfaatkan virus yang mampu menginjeksi DNA nya ke dalam nukleus sel target. Viral vektor yang digunakan dalam teknik ini adalah Adenovirus, Adeno-associated Virus, Lentivirus dan Retrovirus. Tipe virus tersebut digunakan dengan alasan mampu menginfeksi banyak varietas tipe sel, mudah dimanipulasi, dan sebagainya (Mohammad, 2008).
Salah satu vektor dalam terapi gen adalah Sleeping beauty (SB). Sleeping beauty (SB) merupakan gen yang dapat meloncat yang diisolasi dari ikan. Loncatan dari gen ini dimanfaatkan dalam terapi gen karena mampu melakukan mutasi pada transpos penerjemahan gen. Gen SB ini akan terpotong jika bertemu dengan enzim transposase, kedua ujungnya selanjutnya akan berikatan dengan enzim tersebut dan bersama-sama berpindah ke rantai DNA yang lain. Transposase akan memotong rantai DNA tersebut dan menyambungnya dengan gen SB. Apabila dalam gen SB ini ditambahkan gen yang kita inginkan, gen tersebut juga akan ikut melompat bersama dengan gen SB ke rantai DNA pasien, sehingga gen tersebut dapat diekspresikanm dan mengembalikan fungsi tubuh pasien (Mohammad, 2008).


2. Mekanisme terapi gen berdasarkan sel target
Berdasarkan sel target yang digunakan, terapi gen dibedakan dalam dua tipe utama, yaitu Somatik dan Germ-line. Modifikasi gen yang tidak melewati keturunan disebut dengan terapi gen somatik sedangkan modifikasi gen yang mencakup sel reproduksi adalah terapi gen Germ-line. Sel target dari terapi gen somatik adalah sel stem, fibroblas dan sel stem lainnya. Target dari terapi gen germ-line adalah sperma atau sel telur (Anonima. 2010).

















Gambar 2. Terapi gen berdasarkan sel target

3. Gene Transfer Agents (Agen Pembawa Gen)
Tanggal 24 Juni 2010, Eurekanetwork mempublikasikan penemuan senyawa organik baru yang dapat menjadi agen pembawa gen dalam proses terapi untuk penyembuhan penyakit genetik. Proyek penelitian yang dinamakan EUREKA project E! 3371 Gene Transfer Agents telah berhasil mengembangkan senyawa turunan dari kation amfifilik 1,4-dihidropiridin atau 1,4-DHP (cationic amphiphilic 1,4-dihydropyridine) untuk menjadi pengantar gen normal ke dalam inti sel dan mengganti gen sebelumnya yang rusak (Anonimb. 2010).
Kelebihan derivat 1,4-DHP sebagai pembawa gen ini adalah kesiapan untuk diproduksi dalam skala besar, lebih efektif dibanding senyawa organik lain, dan karena bukan virus maka resistensi kekebalan tubuh penerimanya dapat dihindari. Saat ini agen pembawa yang dianggap paling efektif dalam terapi gen adalah virus yang telah dilemahkan (Anonimb. 2010).
Peneliti yang terlibat dalam proyek ini antara lain Professor Arto Urtti dari Helsinki University, Finlandia; dan Dr. Aiva Plotniece, Dr. Arkadijs Sobolevs serta kolega-koleganya dari Latvian Institute, Latvia. Selain itu terlibat juga Bapeks, salah satu produsen di bidang industri kimia dari Latvia. EUREKAnetwork didirikan tahun 1985, bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing bisnis anggota-anggotanya melalui pengembangan teknologi. Anggota-anggotanya berasal dari negara-negara Eropa dan Turki (Anonimb. 2010).
Untuk memahami arti penting penemuan ini, terlebih dahulu harus mengetahui permasalahan yang dihadapi metode terapi gen dalam penyembuhan penyakit-penyakit genetik seperti hemofilia, diabetes, dan berbagai jenis kanker (Anonimb. 2010).
Beberapa metode pengobatan penyakit genetik lainnya yaitu dengan injeksi makromolekul organik. Contohnya adalah pemberian hormon insulin untuk penderita diabetes atau pemberian faktor pembekuan darah bagi pengidap hemofilia. Kelemahan cara ini yaitu, substansi tersebut mudah terurai dalam darah dan adanya ketergantungan penderita terhadap pasokan zat tersebut dari luar tubuhnya (Anonimb. 2010).
Pengidap kanker dan penyakit kronis lain memperoleh pemberian obat beropium untuk meredakan rasa sakit yang hebat. Efek samping obat beropium adalah rasa kantuk berlebihan, gangguan mental, dan halusinasi (Anonimb. 2010).
Aspek revolusioner dari terapi gen adalah terbukanya kemungkinan bahwa penderita kelainan genetik dapat memproduksi senyawa-senyawa terapeutik yang diperlukannya secara endogen (diproduksi tubuh sendiri). Hal ini tentu lebih murah dibandingkan penyuntikkan senyawa terapeutik secara berkala yang mahal biayanya. Selain itu penderita juga terlepas dari ketergantungan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya (Anonimb. 2010).
Sayang sekali riset terapi gen ini bukanlah riset yang murah dan mudah. Pada era sebelum tahun 1995 saja Amerika Serikat mengeluarkan dana 200 juta dollar tiap tahun untuk riset terapi gen. Sementara itu hasil yang diperoleh masih jauh dari kategori memuaskan (Anonimb. 2010).

4. Masalah Gene Transfer Agents (Agen Pembawa Gen)
Pemetaan dan pengamatan genome manusia secara lengkap memberi banyak manfaat dalam penelusuran penyakit genetik. Lokasi gen yang mengalami kelainan dapat dilacak kaitannya dengan penyakit atau gangguan yang ditimbulkannya (Anonimb. 2010).
Setelah lokasi gen pemicu masalah diketahui, langkah selanjutnya adalah membawa gen normal pengganti gen rusak di dalam inti sel. Untuk melaksanakan tugas ini diperlukan suatu agen pembawa atau pengantar gen (gene transfer agents) yang dapat melakukannya secara efektif, tepat sasaran, dan tanpa efek samping. Dewasa ini cara untuk melakukan penggantian gen rusak yaitu dengan memanfaatkan agen virus yang telah dilemahkan, senyawa kimia organik, atau dengan cara penyuntikkan (Anonimb. 2010).
Penggunaan virus sebagai agen pembawa gen disebut metode viral. Metode ini memiliki keuntungan efektivitas yang tinggi. Metode ini dapat memanfaatkan sifat serangan virus pada jaringan tertentu yang khas. Sebagai contoh, retrovirus penyerang sel-sel yang membelah cepat, mungkin cocok sebagai agen pembawa gen terapeutik untuk penyakit tumor. Adenovirus penyerang sel dinding paru-paru mungkin cocok untuk mengirim duplikat gen cystic fibrosis yang dibutuhkan dalam sistem pernapasan (Anonimb. 2010).





















Gambar 2. Ilustrasi cara kerja retrovirus dalam terapi gen

Metode viral cukup dapat diandalkan dari segi efektivitas. Kelemahannya adalah pembiakkanya dalam skala besar memiliki potensi bahaya yang serius. Bagaimanapun juga virus tetaplah virus yang mempunyai kemampuan mutagenik dan karakteristik yang sukar diramalkan. Selain itu, tubuh manusia juga memiliki sistem kekebalan terhadap virus sehingga dapat mengganggu proses terapi (Anonimb. 2010).
Penggunaan senyawa kimia organik sebagai agen pengantar gen dapat mengatasi masalah resistensi dari sistem kekebalan tubuh penerima. Senyawa kimia juga memiliki kemudahan dalam produksi, baik dalam skala kecil maupun skala besar. Hanya saja efektivitas metode ini sangat rendah apabila dibandingkan dengan metode viral. Saat ini agen senyawa kimia standar yang digunakan secara luas yaitu DOTAP (dioleoyl trimethylammonium propane) dan PEI 25 (polyethylenimine) (Anonimb. 2010).
Penemuan derivat 1,4-DHP sebagai senyawa organik pembawa gen memiliki keunggulan gabungan metode viral dan metode kimiawi. Derivat-derivat 1,4-DHP saat ini masih dalam tahap pengembangan, namun efektivitasnya lebih tinggi dibanding senyawa organik lain yaitu DOTAP dan PEI 25. Sebagai senyawa kimia organik tentu saja 1,4-DHP akan lebih siap dan mudah diproduksi dalam berbagai skala (Anonimb. 2010).

C. Prinsip-prinsip terapi gen
Prinsip-prinsip terapi gen adalah gen yang akan dipindahkan itu harus diletakkan ke dalam sel yang akan berfungsi normal dan efektif. Untuk hemofilia gen harus diletakkan ke dalam sel yang akan menghantarkan protein faktor VIII atau faktor IX ke dalam peredaran darah. Saat ditransfer, gen tersebut harus berfungsi dalam sel dalam jangka waktu yang lama, demikian pula sel baru yang disebut transduced cell, harus pula bertahan lama. Program terapi gen terbagi dalam dua jenis. Pertama, pemindahan gen dilakukan di dalam tubuh pasien (in vivo transfer). Kedua, pemindahan gen dilakukan di luar tubuh pasien (ex vivo transfer). Terapi gen in vivo transfer bersandarkan pada kemampuan sel-sel untuk menyerap DNA. Peneliti berharap dapat memetakan gen yang berfungsi normal sehingga memungkinkan sel-sel menerimanya sesegera mungkin, misalnya melalui penyuntikan. Sedangkan ex vivo transfer, gen yang berfungsi normal disisipkan ke dalam sel di dalam laboratorium. Kemudian sel yang telah ditransferkan ke gen baru tadi di letakkan ke dalam tubuh pasien. Sel penderita dapat digunakan untuk pemindahan gen ini. Tentu kedua cara ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan in vivo transfer adalah sangat sedikit membutuhkan manipulasi laboratorium dan dapat digunakan dalam skala besar. Sedangkan ex vivo lebih sarat dengan operasi pembedahan, seperti bagaimana mengangkat dan meletakkan kembali sel, karena meletakkan gen baru ke tubuh pasien tidaklah segampang menelan pil atau semudah menyuntikkannya ke dalam darah (Farida, 2007).
D. Penanggulangan penyakit melalui beberapa gen
1. Penghasil Enzim ADA
Wacana terapi gen mencuat tahun 1990 ketika untuk pertama kalinya gen normal adenosine deaminase (ADA) dimasukkan ke dalam sel darah putih seorang penderita defisiensi kekebalan kombinasi akut. Metode ini dilakukan oleh National Health Institute, Amerika Serikat pada Ashanti De Silva, berusia 4 tahun (Anonimb. 2010).
















Gambar 3. Ashanthi De Silva Penderita ADA
yang diterapi gen pertama kali


Aplikasi terapi gen pertama kali dilakukan pada anak penderita defisiensi ADA pada September 1990. Terapi ini dilakukan terhadap anak perempuan berumur 4 tahun. Ashanthi De Silva di Clnical Center of the US national Institutes of Health di Behtesda Washington D.C. USA. Usulan untuk terapi gen yang diprakarsai oleh Anderson dan Blaese ini diajukan 3 tahun sebelumnya. ADA merupakan enzim untuk metabolisme purin. Defisiensi ADA merupakan penyakit Immunodeficiency, karena tubuh kekurangan enzim tersebut limfosit-T dan limfosit-B yang mutlak dibutuhkan untuk pembentukan sistem kekebalan tidak dapat berkembang dengan semestinya. Enzim ADA diperlukan untuk perkembangan sel T, gen ADA terletak pada kromosom X. pada penderita defisiensi ADA, gen untuk menyandi enzim tersebut tidak ada, akibatnya tidak dapat memproduksi enzim tersebut tidak ada, akibatnya tidak dapat memproduksi enzim tersebut. Dengan tidak adanya enzim ini sel T dan sel B tidak terbentuk dengan sempurna,dan menjadikan tidak berfungsinya sistem kekebalan. Jika bayi penderita defisiensi ADA ini tidak berada dalam lingkungan bebas mikroba (steril) maka tidak dapat mempertahankan hidup. Bayi ini terkenal dengan nama baby balloon karena bayi tersebut harus dimasukkan dala bola plastik yang steril, baik mainan atau makanan yang akan disentuhnya harus disterilkan terlebih dahulu. Meskipun begitu bayi tersebut hanya berumur sampai 4 tahun. Injeksi langsung enzim ADA dalam darah tidak dapat menolong karena akan rusak dalam beberapa menit. Dengan cara pemindahan sumsum tulangpun memiliki kelemahan, yaitu perlu pendonor yang cocok. Telah pula diusahakan dan disepakati penggunaan “PEG-ADA” (polyethylene glycol-conyugated ADA). Senyawa ini dapat bertahan dalam darah selama beberapa hari. Namun injeksi yang dilakukan tiap minggu akan memakan biaya US $ 60,000 pertahunnya. Dengan rekayasa genetik yang diusulkan oleh Anderson dan Blaese melalui terapi gen, gangguan ini telah dapat diatasi. Sel T diisolasi dari penderita, kemudian ditumbuhkan di dalam kultur diatasi. Sel T diisolasi dari penderita, kemudian ditumbuhkan di dalam kultur medium yang dibuat khusus untuk dapat menstimulasi aktivasi dan pertumbuhan sel T. Setelah sel T berkembang biak, retrovirus (yang bertindak sebagai vektor) yang sudah mengandung DNA penyandi ADA ditambahkan dan kemudian ditumbuhkan beberapa hari sebelum diberikan kepada penderita. Disini retrovirus yang telah membawa gen ADA akan menginfeksi sel, kemudian bergabung ke dalam DNA sel T. akhirnya larutan yang mengandung berjuta-juta sel-T yang telah membawa gen ADA dimasukkan pada vena penderita. Dengan demikian gen penyandi ADA di dalam sel T akan diekspresikan, sehingga tubuh penderita akan mampu menghasilkan enzim tersebut. Sementara enzim tersebut belum diproduksi oleh tubuh, penderita tetap diberi PEG-ADA. Salinan-salinan gen terklon untuk enzim ADA disisipkan ke dalam retrovirus lemah (sebagai vector). Retrovirus ini dicampurkan dengan sel T Ashanti, retrovirus kemudian mengjankiti sel T dan menyisipkan gen ADA ke dalam DNA sel T. setelah dilakukan penyaringan, sel T rekombinan tersebut diklonkan, sebagan lagi disimpan dalam penyimpanan gen (sebagai simpanan). Ashanti disuntik berulang kali, dan ternyata setelah lima tahun didapati sel T Ashanti menunjukkan kehadiran gen ADA, diprediksikan satu milyar sel telah diberikan pada Ashanti (Farida, 2007).

2. Pengobatan Hemofilia
Penderita hemofilia adalah manusia yang faktor VIII dalam darahnya jumlahnya sedikit. Jika orang normal memiliki jumlah factor VIII dalam darahnya sebanyak 100 unit, maka penderita hemofili ringan hanya memiliki sekitar 30 unit saja (6-30 persen), sedangkan penderita hemofili berat hanya memiliki factor VIII dalam darahnya kurang dari 5 unit atau 1 persen saja. Akibatnya penderita tidak memiliki kemampuan dalam pemkuan darah. Terapi gen merupakan salah satu cara penyembuhan penyakit hemofili dengan memperbaiki kerusakan genetis, yaitu melalui penggantian gen yang tidak rusak dan berfungsi normal. Penyembuhan melalui terapi gen ini tidak dapat secara permanen dan masih harus dilakukan secara berkala (Duwi, 2010).
Menurut Moeslichan (2005) dalam Duwi (2010), hingga saat ini terapi gen belum diterapkan pada penderita hemofili Indonesia. Ditambahkannya bahwa di luar negeri studi terapi gen terus dikembangkan. Bahkan percobaan kepada binatangpun telah dilakukan. Sebuah kasus terapi gen yang dilakukan pada seekor anjing yang mengidap hemofilia dapat sembuh dalam waktu 30 hari. Namun, serangan hemofilia kembali terjadi setelah itu. Pada manusia penderita hemofili, masa penyembuhan setelah terapi gen, memakan waktu dari satu hingga dua tahun.
Risiko terapi gen adalah kemungkinan terjadinya viral vector yang akan beraksi layaknya virus dan akan menyebabkan infeksi. Namun demikian sejauh ini viral vector yang telah dilakukan investigasi tidak menyebabkan penyakit pada manusia. Penyembuhan penyakit hemofilia melalui terapi gen saat ini masih terus dilakukan. Percobaan terhadap anjing telah berhasil, demikian juga dengan manusia, percobaan terhadap dua penderita hemofilia pun telah dilakukan (Duwi, 2010).

3. Pengobatan Thallasemia
Thallasemia merupakan suatu penyakit darah bawaan yang menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), sel darah merah penderita mengandung sedikit hemoglobin dan sel darah putihnya meningkat jumlahnya (Supriyadi, dkk, 1992 dalam Duwi, 2010)). Thallasemia merupakan penyakit keturunan yang paling banyak dijumpai di Indonesia dan Italia. 6 sampai 10% dari 100 orang Indonesia membawa gen penyakit ini. Jika dua orang yang sama-sama membawa gen ini menikah maka satu dari empat anak mereka akan menderita thallasemia berat (Duwi, 2010).
Kelainan gen ini akan mengakibatkan kekurangan salah satu unsur pembentuk hemoglobin (Hb), sehingga produksi Hb berkurang. Terdapat tiga jenis thallasemia yaitu : mayor, intermediate dan karier. Pada thallasemia mayor, Hb sama sekali tidak diproduksi. Akibatnya penderita akan mengalami anemia berat. Dalam hal ini jika penderita tidak diobati, maka bentuk tulang wajahnya akan berubah dan wama kulitnya menjadi hitam. Selama hidupnya penderta akan tergantung pada transfusi darah. Hal ini dapat berakibat fatal, karena efek samping dari transfuse darah yang terus menerus akan mengakibatkan kelebihan zat besi (Duwi, 2010).
Terapi gen merupakan harapan baru bagi penderita thallasemia di masa mendatang. Terapi dilakukan dengan menggantikan sel tunas yang rusak pada sumsum tulang penderita dengan sel tunas dari donor yang sehat. Hal ini sudah diujicobakan pada mencit (Duwi, 2010).

4. Memperpanjang usia sel/ penanggulangan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan keuzuran
The Sunday Times (15 Januari 1998) mengabarkan, seorang ilmuwan AS telah berhasil menyingkap rahasia penuaan. Dari “main-main dengan materi genetik, mereka menemukan “sumber zat awet muda” untuk membuat sel manusia hidup lebih lama. Usaha memperpanjang usia sel manusia dpandang akan sangat bermanfaat bagi penanggulangan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan keuzuran. Tim Dr. Woodring Wright, professor biologi sel di niversity of Texas, Dallas, menggunakan enzim telomerase. Enzim ini dihasilkan oleh sel kecambah, seperti sel telur dan sperma, dan mempengaruhi telomerase (ujung kromosom). Sebagian kecil telomer ternyata hilang setiap kali sel biasa pada tubuh manusia membelah diri. Namun karena sel normal tidak menghasilkan enzim telomer, telomere tidak tumbuh lagi. Tim Dr. Wright berhasil menemukan cara untuk menumbuhkan kembali telomer ini dengan menggunakan enzim telomerase. Hilangnya telomer berkaitan dengan keuzuran. Dengan telomerase, telomer bisa diregenerasi sehingga penuaan (setidaknya ditingkat sel) dapat dihentikan ini tidak berarti manusia dapat hidup selamanya, karena matinya sel hanya salah satu saja dari sekian banyak proses yang membuat seseorang menjadi tua. Penuaan ini dapat membantu memperpanjang usia sel dengan cukup berarti. Kebutuhan akan sel yang jauh lebih panjang umur dari yang sampai kini ada, memang amat dibutuhkan oleh para terapis gendalam usahanya menyembuhkan pasien berpenyakit menurun, misalnya cystic fibrosis. Dalam terapi ini yang biasa dilakukan adalah mengambil sel-sel si pasien, memasukkan gen sehat ke dalam sel-sel itu, lalu mengembalikan ke tubuh pasien. Diharapkan sel yang telah dimanipulasi itu akan mengambil alih peran sel-sel yang membawa kelainan penyakit tadi. Sayangnya, seringkali sel-sel sehatnya keburu “menua” di saat terapis selesai menanganinya, sehingga mati sebelum bisa berbuat banyak. Dengan mencegah kematian sel, proses telomerase diharapkan juga akan merangsang sel-sel bekerja lebih baik (Farida, 2007).



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan dalam penulisan makalah ini, yaitu :
1. Terapi gen atau gen therapy merupakan modifikasi materi genetik (DNA) dari sel untuk tujuan pengobatan.
2. Mekanisme terapi gen melalui transfer gen baik secara ex vivo maupun in vivo dan melalui Gene Transfer Agents (Agen Pembawa Gen).
3. Prinsip-prinsip terapi gen adalah gen yang akan dipindahkan itu harus diletakkan ke dalam sel yang akan berfungsi normal dan efektif.
4. Penanggulangan penyakit melalui terapi gen diantaranya penyakit defisiensi ADA (Adenosin Deaminase), Hemofilia, Thallasemia, memperpanjang usia sel/ penanggulangan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan keuzuran.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan, agar dapat meningkatkan pemahaman kita mengenai terapi gen.













DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mochammad Iqbal. 2008. Peran Mikroorganisme dalam Kehidupan.
http://mochammadiqbal.wordpress.com/2008/02/18/peran-
mikroorganisme-dlm-kehidupan/ Diakses tanggal 11 Juni 2011

Anonima. 2010. Terapi Gen. http://science-query.com/tag/patogen/.
Diakses tanggal 11 Juni 2011.

Anonimb. 2010. Terapi Gen Harapan Yang Kian Dekat.
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/07/23/terapi-gen/
Diakses tanggal 3 Juni 2011.

Arsal, A. Farida. 2007. Bioteknologi Modern. Universitas Negeri Makassar.
Makassar.

Duwi. 2010. Rekayasa Genetika.
http://duwiszone.blogspot.com/2010/12/rekayasa-genetika.html.
Diakses tanggal 11 Juni 2011